Demografi Kabupaten Jepara
Penduduk Kabupaten Jepara mayoritas merupakan pemeluk agama Islam dengan persentase mencapai 97 persen. Selebihnya adalah pemeluk agama lain seperti Kristen Protestan, Kristen Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghuchu.
Jepara terkenal sebagai sentra ukiran kayu di Indonesia. Hasil kerajinan ini terkenal hingga mancanegara. Hampir semua Kecamatan di Kabupaten Jepara terdapat pengrajin ukiran dengan keunikan masing-masing.
Industri ukir adalah industri utama yang menggerakkan roda perekonomian di Kabupaten Jepara. Namun demikian, sektor perekonomian yang tak kalah penting di Kabupaten ini adalah sektor perikanan, galian C, perkebunan, dan pertanian.
Peta Kabupaten Jepara dapat diakses pada link berikut ini:
Peta Kabupaten Jepara
tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Balqis FallahndaPenulis: Balqis FallahndaEditor: Yulaika Ramadhani
Mengulik Sejarah Jepara sebagai Pusat Seni Ukir Kelas Dunia
Penulis: Brigitta Raras
Kabupaten Jepara terletak di Provinsi Jawa Tengah ini, terkenal akan ukiran kayunya yang indah. Bahkan, hasil kerajinan ukir kayu Jepara telah diekspor ke-113 negara. Jepara juga memiliki julukan “The World Carving Center” atau pusat ukir dunia.
Hal tersebut juga diperkuat dari penghargaan yang diraih Jepara, baik dalam dan luar negeri yang menyatakan Jepara sebagai kawasan terpadu penghasil mebel dan ukiran. Di Jepara, kegiatan memahat dan mengukir dalam menghasilkan mebel dan karya seni ukiran telah menjadi bagian dari budaya, seni, ekonomi, sosial, dan politik.
Kebiasaan ini menjadikan kemampuan mengukir semakin terasah dari para perajin. Nilai ini tentunya telah lama terbentuk dan tak terpisahkan dari akar sejarah. Mebel dan ukir Jepara memiliki sejarah yang cukup panjang dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Mengutip dari Indonesia.go.id, bahwa legenda mengenai pengukir dan peluki zaman Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit diceritakan secara turun temurun di Kota Jepara. Saking kuatnya legenda tersebut ditanamkan, maka sampai detik ini beberapa orang mempercayainya sebagai sejarah awal Jepara terkenal dengan ukirannya.
Geografis Kabupaten Jepara
Kabupaten Jepara tertelatak di titik koordinat 110°9'48,02" sampai 110°58'37,40" Bujur Timur dan 5°43'20,67" sampai 6°47'25,83" Lintang Selatan.
Wilayah kabupaten Jepara berbatasan langsung dengan sejumlah wilayah di sekitranya. Sebelah Utara dan Barat berbatasan dengan Laut Jawa.
Kemudian sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus. Sementara sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Demak.
Legenda pengukir dan pelukis
Seni ukir Jepara | Foto: Kompas
Konon, dahulu seorang ahli lukis dan ukir bernama Prabangkara dipanggil oleh Raja Brawijaya, untuk melukis istrinya dalam keadaan tanpa busana sebagai wujud cinta dari sang raja.
Sebagai pelukis, Prabangkara harus melukis melalui imajinasinya tanpa boleh melihat permaisuri sang Raja tanpa busana. Prabangkara pun melakukan tugasnya dengan sempurna, tetapi tiba-tiba ada seekor cicak yang membuang kotoran dan mengenai lukisan tersebut hingga membuat lukisan permaisuri mempunyai tahi lalat.
Pada mulanya, sang Raja sangat puas dengan hasil karya Prabangkara. Namun, ketika melihat tahi lalat tersebut, sang Raja marah dan menuduh Prabangkara melihat permaisuri tanpa busana. Hal ini dikarenakan, lokasi tahi lalat persis dengan kenyataannya.
Akhirnya, Prabangkara dihukum oleh sang Raja dengan diikat di layang-layang, diterbangkan dan kemudian jatuh di daerah Belakang Gunung yang kini bernama Mulyoharjo, Jepara. Di sana, Prabangkara mengajarkan ilmu dan kemahiran mengukir kepada warga Jepara, dan tetap lestari sampai saat ini.
Ukiran Jepara sudah ada sejak zaman pemerintahan Ratu Kali Nyamat sekitar tahun 1549. Anak perempuan Ratu bernama Retno Kencono mempunyai peranan besar bagi perkembangan seni ukir. Kesenian ukir semakin berkembang pesat dengan adanya seorang menteri bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari Campa, ia sangat ahli dalam seni ukir.
Daun Trubusan sebagai ciri khas ukiran Jepara
Ukiran Jepara | Foto: Dejepara
Motif yang menunjukkan bahwa ukiran tersebut berasal dari Jepara adalah corak dan motifnya. Motif yang sangat terkenal dari ukiran Jepara adalah daun Trubusan yang terdiri dari dua macam. Pertama, daun yang keluar dari tangkai relung. Kedua, daun yang keluar dari cabang atau ruasnya.
Kemudian, ukiran Jepara juga terlihat dari motif Jumbai yang daunnya akan terbuka seperti kipas dan ujungnya meruncing. Ukiran Jepara juga menggunakan material bermutu tinggi, seperti kayu jati dan kayu-kayu lain yang terbukti kualitasnya.
Harga mebel Jepara memang relatif mahal, tetapi hal ini sepadan dengan kualitasnya yang tinggi dan berkelas. Ukiran Jepara ini, memiliki kandungan minyak alami yang membuatnya tahan air dan serangan rayap. Maka dari itu, sudah tak perlu diragukan lagi kualitas dari ukir kelas dunia ini.*
Referensi: Kompas | Indonesia.go.id
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
6°35′31″S 110°40′16″E / 6.592071°S 110.671242°E / -6.592071; 110.671242
Jepara (bahasa Jawa: ꦗꦼꦥꦫ) (atau disebut juga Jepara Kota) adalah ibu kota Kabupaten Jepara yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian dari Kabupaten Jepara. Jepara juga merupakan sebuah wilayah kecamatan yang terletak di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.[3]
Menurut C. Lekkerkerker, nama Jepara berasal dari kata Ujungpara. disebut ujungpara karena dahulu ada orang dari Majapahit yang sedang berjalan melewati daerah yang sekarang disebut Jepara, melihat nelayan yang sedang membagi-bagi ikan hasil tangkapannya "membagi" dalam bahasa jawa adalah "Para" (dibaca: Poro), maka pengembara tersebut menceritakan di kota tujuannya bahwa dia melewati Ujung Para karena dia melewati ujung pulau Jawa yang ada yang membagi ikan.
Kemudian berubah menjadi Ujung Mara, dan Jumpara, yang akhirnya berubah menjadi Japara pada tahun 1950an diubah menjadi Jepara hal itu dibuktikan adanya Persijap (Persatuan Sepak bola Japara). Kata Ujung dan Para sendiri berasal dari bahasa jawa, Ujung artinya bagian darat yang menjorok ke laut dan Para yang artinya menunjukkan arah, yang digabung menjadi suatu daerah yang menjorok ke laut.
Letak geografis memang menempatkan Jepara di semenanjung yang strategis dan mudah di jangkau oleh para pedagang. Para dari sumber yang lain diartikan Pepara, yang artinya bebakulan mrono mrene, yang kemudian diartikan sebuah ujung tempat bermukimnya para pedagang dari berbagai daerah. Orang Jawa menyebut menyebut nama Jepara menjadi Jeporo, dan orang Jawa yang menggunakan bahasa krama inggil menyebut Jepara menjadi Jepanten, dalam bahasa Inggris disebut Japara, Sedangkan orang Belanda menyebut Yapara atau Japare.
Kecamatan Jepara terbagi menjadi 4 desa dan 11 Kelurahan, yaitu:
Pada umumnya penduduk Jepara merupakan suku Jawa, dan beberapa suku lain dari Indonesia. Tahun 2021, jumlah penduduk kecamatan Jepara sebanyak 92.967 jiwa, dengan kepadatan 1.167 jiwa/km².[2] Kemudian, persentasi penduduk kecamatan Jepara berdasarkan agama yang dianut yakni Islam 97,03%, kemudian Kekristenan 2,93% dimana Protestan 2,41% dan Katolik 0,51%. Selebihnya buddha sebanyak 0,02% dan Hindu 0,02%.[4]
Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar masyarakat Kecamatan Jepara menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Dialek Jeporonan.
Kecamatan Jepara memiliki beberapa taman, yaitu:
Masakan khas Jepara, adalah:
Kecamatan Jepara terdapat 1 Polindes, 1 Puskesmas dan 3 Rumah Sakit, yaitu:
Kecamatan Jepara terdapat beberapa Pasar, yaitu:
Wikimedia Commons memiliki media mengenai
Sejarah Kabupaten Jepara
Jauh sebelum adanya kerajaan-kerajaan di tanah Jawa. Di ujung sebelah utara pulau Jawa sudah ada sekelompok penduduk yang diyakini orang-orang itu berasal dari daerah Yunnan Selatan yang kala itu melakukan migrasi ke arah selatan. Jepara saat itu masih terpisah oleh selat Juwana.
Asal nama Jepara berasal dari perkataan Ujung Para, Ujung Mara dan Jumpara yang kemudian menjadi Jepara yang berarti sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah. Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M)” mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga disebut Jawa atau Japa dan diyakini berlokasi di Keling, kawasan timur Jepara sekarang ini serta dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal sangat tegas.
Menurut seorang penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya “Suma Oriental”, Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga.
Pati Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadi mata rantai perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan oleh ipar Faletehan/Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadirin, suaminya. Namun setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam Ekspedisi Militer di Panarukan Jawa Timur pada tahun 1546, timbulnya geger perebutan tahta kerajaan Demak yang berakhir dengan tewasnya Pangeran Hadiri oleh Aryo Penangsang pada tahun 1549.
Kematian orang-orang yang dikasihi membuat Ratu Retno Kencono sangat berduka dan meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Setelah terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono bersedia turun dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar NIMAS RATU KALINYAMAT.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa, yang melayani eksport import. Di samping itu juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan Demak.
Sebagai seorang penguasa Jepara yang gemah ripah loh jinawi karena keberadaan Jepara kala itu sebagai Bandar Niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574. Adalah tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai RAINHA DE JEPARA”SENORA DE RICA, yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya.
Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan hamper 40 buah kapal yang berisikan lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun serangan ini gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat.
Namun semangat Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar menghadapi penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia.
Dua puluh empat tahun kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini dipimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai “QUILIMO”.
Walaupun akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu.
Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang disebut sebagai Makam Tentara Jawa. Selain itu tokoh Ratu Kalinyamat ini juga sangat berjasa dalam membudayakan SENI UKIR yang sekarang ini jadi andalan utama ekonomi Jepara yaitu perpaduan seni ukir Majapahit dengan seni ukir Patih Badarduwung yang berasal dari Negeri Cina.
Menurut catatan sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan di desa Mantingan Jepara, di sebelah makam suaminya Pangeran Hadiri. Mengacu pada semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat sehingga Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur maka penetapan Hari Jadi Jepara yang mengambil waktu beliau dinobatkan sebagai penguasa Jepara atau yang bertepatan dengan tanggal 10 April 1549 ini telah ditandai dengan Candra Sengkala TRUS KARYA TATANING BUMI atau terus bekerja keras membangun daerah.
Sejarah Kabupaten JeparaKota Jepara. foto/IStockphoto
Sejarah Kabupaten Jepara
Kota Jepara. foto/IStockphoto
Hari jadi Kabupaten Jepara jatuh pada 10 April 1549 bertepatan pada hari penobatan Ratu Kalinyamat sebagai penguasa Jepara.
Sejarah tentang Jepara tidak bisa dipisahkan dari kepemimpinan Ratu Kalinyamat yang memimpin Jepara menajdi pusat perniagaan pada pertengahan abad ke 15.
Kala itu Jepara berkembang pesat menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa, yang melayani eksport import. Disamping itu juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan Demak.
Ratu Kalinyamat juga gigih berjuang melawan penjajahan Portugis. Sejarah mencatat, Ratu Kalinyamat mengirimkan armada perangnya ke Malaka untuk menggempur Portugis pada 1551 dan 1574.
Walaupun akhirnya perang kedua pada 1574 berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun serangan pemberani itu telah membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara.
Terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad ke-16, demikian disarikan dari laman PPID Kabupaten Jepara.
R. A Kartini dan seni ukir Jepara
Seni ukir Jepara | Foto: Indonesia.go.id
Sepeninggalan Ratu Kali Nyamat, perkembangan ukir Jepara terhenti dan stagnan. Kemudian, perkembangan mereka baru dimulai lagi pada masa Kartini. Sebagai tempat kelahirannya, Raden Ajeng Kartini membantu dan mengemabangakan bersama-sama seni ukir Jepara.
Kartini juga pernah menulis sebuah prosa berjudul Van een Vergeten Uithoekje atau Pojok yang Dilupakan. Prosa ini menceritakan mengenai tanah kelahirannya, Jepara, yang mempunyai banyak seniman ukir sejati. Ironisnya, banyak dilupakan orang dan tidak mendapatkan penghargaan yang berarti.
R. A. Kartini dan para perajin bersama-sama membuat ukiran, seperti meja kecil, pigura, tempat perhiasan, cenderamata dan lainnya yang kemudian dijual ke Batavia (Jakarta) dan Semarang. Hingga akhirnya, banyak masyarakat yang mengetahui kualitas karya ukir dari Jepara dan pesanan pun berdatangan.
Hasil produksi seni ukir Jepara pun semakin bertambah. R. A Kartini juga mulai memperkenalkan karya ukir Jepara ke luar negeri dengan memberikan cendera mata kepada teman-temannya di luar negeri.
Kartini pun gencar untuk terus mempromosikan dan menghubungi Oost en West (asosiasi kerajinan tangan) di Hindia. Kartini mendorong mereka semua untuk membantu mempromosikan produk seni ukir Jepara. Bahkan, R. A Kartini juga mengirimkan hadiah ulang tahun kepada Sri Baginda Ratu Wilhelmina di Belanda.
Seluruh upaya Kartini, berbuah manis. Permintaan melonjak berkali-kali lipat dan berhasil dijual dengan harga tinggi. Selain keberhasilan kerajinan ukir Jepara, kesejahteraan para seniman ukir di Jepara juga meningkat.
Asal nama Jepara berasal dari kata \x22ujung para\x22, kemudian berubah menjadi \x22ujung mara\x22 dan \x22Jumpara. Kata \x22ujung para\x22 dapat diartikan sebagai tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah.
Menurut buku Sejarah Dinasti Tang (618-906 M) pada 674 M seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah berkunjung ke negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga disebut Jawa. Keraaan ini diyakini berada di Keling, kawasan timur Jepara sekarang. Kaling dipimpin raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal tegas.
Penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental, Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M). Sebagai bandar perdagangan yang kecil dan baru ada 90-100 orang. Jepara dipimpin oleh Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak.
Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga. Pati Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadikan mata rantai perdagangan Nusantara.
Setelah Pati Unus wafat, penggantinya adalah sang ipar, Faletehan/Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadirin, suaminya.
Namun setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam Ekspedisi Militer di Panarukan Jawa Timur pada tahun 1546, timbulnya geger perebutan tahta kerajaan Demak yang berakhir dengan tewasnya Pangeran Hadiri oleh Aryo Penangsang pada tahun 1549.
Pada kematian orang-orang yang dikasihi membuat Ratu Retno Kencono sangat berduka dan meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Setelah terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono bersedia turun dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar Nimas Ratu Kalinyamat.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549/1579), Jepara berkembang pesat menjadi bandar niaga utama di pulau Jawa yang melayani ekspor dan impor. Disamping itu menjadi pangkalan angkatan laut yang dirintis sejak masa kerajaan Demak.
Sebagai seorang penguasa Jepara yang gemah ripah loh jinawi karena keberadaan Jepara pada saat itu sebagai Bandar Niaga yang sangat ramai, Ratu Kaliyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme yang anti penjajahan. Itu dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka untuk mengempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574.
Tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai Rainha de epara Sonora de Rica, yang memiliki arti Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya.
Pada saat itu serangan ratu yang gagah berani itu melibatkan hampir 40 buah kapal yang berisikan kurang lebih 5.000 orang prajurit. Tapi serangan tersebut gagal, namun semangat patriotisme Ratu tidak pernah luntur dan gentar menghadapi penjajah bengsa portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia.
Pada Oktober 1574 sang Ratu Kelinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15 ribu orang prajurit pilihannya. Pengiriman armada militer kedua ini dipimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai Quilimo.
Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antar Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka Komplek kuburan yang disebut sebagai makam Tentara Jawa. Selain itu tokoh Ratu Kalinyamat juga sangat berjasa dalam budayakan seni ukir yang sekarang ini jadi andalan utama ekonomi Jepara yaitu perpaduan seni ukir Majapahit dengan seni ukir patih Badardawung yang berasal dari negeri Cina.
Menurut sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan di desa Mantingan Jepara, disebelah makam suaminya Pangeran Hadiri. Pada semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat sehingga Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan sejahtera. Maka penetapan hari jadi Jepara yang mengambil waktu beliau dinobatkan sebagai penuasa Jepara atau yang bertepatan dengan tanggal 10 April 1549 ini telah ditandai dengan Candra Sengkala Trus Karya Tataning Bumi atau terus bekerja keras membangun daerah.
Selain itu muncullah beberapa tempat wisata yang sangat indah di kota Jepara seperti pantai, bukit, air terjun, hingga gunung yang sangat indah. Yang paling banyak diincar wisatawan adalah keindahan pantainya, tidak hanya pasir dan tempat pantai yang bersih melainkan berkat pemandangan yang alami.
Kalau ingin healing ke pantai adalah pilihan tepat, cocok jadi tempat bersantai sambil menikmati pemandangan matahari terbenam berwarna kuning keemasan yang sangat eksotis. Dan wisata alam yang unggulan dan ikonik dari kabupaten Jepara adalah Pulau Karimunjawa. Dari kota menuju tempat tersebut kita harus menyeberang dengan kapal selama 3-5 jam.
Walaupun jauh tapi keidahan alam di Karimunawa berhasil menghipnotis banyak wisatawan terutama akan keindahan bawah laut yang masih sangat asri dan terjaga dengan baik.
TEMPO.CO, Jakarta - Ketika menyebut nama RA Kartini, pasti segera teringat akan perjuangan dan kontribusinya yang besar dalam memperjuangkan hak-hak wanita dan pendidikan di Indonesia, khususnya Kota Jepara.
Kota ini bukan hanya tempat kelahiran RA Kartini, tetapi juga sebuah kota yang kaya akan warisan budaya, perdagangan, dan perjuangan melawan penjajahan. Berikut ini adalah sejarah berdirinya kota Jepara, jauh sebelum Kartini berjuang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jepara merupakan sebuah kota yang kaya akan sejarah. Sebelum kerajaan-kerajaan berdiri di tanah Jawa, sekelompok penduduk sudah menghuni ujung pantai utara Jawa tersebut. Dipercaya bahwa mereka berasal dari daerah Yunnan Selatan dan bermigrasi ke selatan. Pada masa itu, Jepara terpisah oleh Selat Juwana.
Dilansir dari buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019, “RATU KALINYAMAT, Sejarah atau Mitos?”, nama Jepara berasal dari berbagai perkataan, seperti Ujung Para, Ujung Mara, dan Jumpara, yang kemudian menjadi Jepara. Nama ini menggambarkan tempat pemukiman para pedagang yang melakukan berbagai transaksi perdagangan.
Selain itu, menurut buku "Sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M)", seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kalingga, yang diyakini berlokasi di kawasan timur Jepara saat ini. Kawasan ini dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ratu Shima yang sangat tegas.
Menurut penulis Portugis Tome Pires, Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan kecil yang dihuni oleh sekitar 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur di bawah pemerintahan Demak. Aryo Timur kemudian digantikan oleh putranya, Pati Unus, yang berupaya membangun Jepara menjadi kota niaga.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat menjadi bandar niaga utama di Pulau Jawa dan pangkalan angkatan laut. Ratu Kalinyamat dikenal dengan jiwa patriotisme anti penjajahan.
Ia bahkan mengirim armada perangnya untuk menggempur Portugis di Malaka pada 1551 dan 1574. Portugis menyebutnya sebagai "Rainha de Japara, Senhora Poderosa e Rica, de Kranige Dame" yang berarti Ratu Jepara yang sangat berkuasa dan kaya.
Meskipun serangan tersebut gagal, semangat patriotisme Ratu Kalinyamat tidak pernah padam. Pada Oktober 1574, ia mengirimkan armada militernya yang lebih besar ke Malaka, namun juga tidak berhasil mengusir Portugis dari sana. Namun, perang-perang tersebut membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Jepara.
Perjuangan Ratu Kalinyamat dan Jepara dalam melawan Portugis meninggalkan warisan berharga. Komplek kuburan yang dikenal sebagai Makam Tentara Jawa di Malaka menjadi bukti sejarah perang besar antara Jepara dan Portugis. Selain itu, Ratu Kalinyamat juga berjasa dalam mengembangkan seni ukir yang sekarang menjadi andalan utama ekonomi Jepara.
Dikutip dari ppid.jepara.go.id, Ratu Kalinyamat meninggal pada 1579 dan dikebumikan di Mantingan, Jepara, berdekatan dengan makam suaminya, Pangeran Hadiri.
Berdasarkan prestasi gemilang yang telah membawa kemakmuran bagi Jepara, hari penobatannya sebagai penguasa Jepara ditetapkan menjadi Hari Jadi Jepara, yakni pada 10 April 1549 ditandai dengan Candra Sengkala "Trus Karya Tataning Bumi" yang bermakna "terus bekerja keras membangun daerah".
tirto.id - Kabupaten Jepara adalah salah satu Kabupaten yang masuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Jepara resmi menjadi sebuah Kabupaten tercantum dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1950.
Kabupaten Jepara memiliki luas wilayah 1.057,10 km2. Wilayah tersebut terdiri dari 16 Kecamatan, 184 Desa, dan 11 Kelurahan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020 total populasi Kabupaten Jepara mencapai 1.184.947 jiwa.